Selasa, 25 Oktober 2016

Al Imam Asysyafi'i


Ar-Risalah, Kitab Ushul Fiqh Tiada Duanya

Al-Muzanni berkata, “Saya telah membaca kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i sebanyak 50 kali. Setiap membacanya, saya selalu memperoleh faedah yang berbeda-beda.”. menurut Imam Ahmad bin Hambali, “Kalau bukan karena Syafi’i, saya tidak bakal mengetahui Fiqh Hadis.” demikianlah para sahabat dan sekaligus murid Imam Syafi’i menuturkan kekagumannya terhadap kitab Ar-Risalah, kitab pertama yang di tulis Imam Syafi’i.

Dahulu, kitab ini tidak bernama Ar-Risalah. DR. Ahmad Muhammad bin Syakir, penyunting kitab Ar-Risalah dalam pengentarnya mengatakan bahwa Imam Syafi’i tidak menamakan kitabnya Ar-Risalah, melainkan dengan nama Al-kitab. Berkali-kali dalam karyanya, Syafi’i menyebut-nyebut kata Alkitab, entah itu kata Kitabi, atau kitabuna. Demikian juga dalam kitab Al-Umm, Syafi’i selalu menisbahkan karya pertamanya itu dengan kata Alkitab (Al-Umm. Hal: 253).

Menurutnya, sebab Imam Syafi’i menamakan kitabnya dengan Ar-Risalah karena surat menyurat dengan Abdurrahman bin Mahdi. Saat itu, Syafi’i menulis Ar-Risalah atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi di Mekah. Abdurrahman meminta Imam Syafi’i untuk menuliskan suatu kitab yang mencakup ilmu tentang Alqur’an, hal ihwal yang ada dalam Al-Qur’an dan disertai juga dengan hadis Nabi. Kitab ini setelah dikarang, disalin oleh murid-muridnya dan dikirim ke Mekah. Itulah sebabnya kitab itu dinamai kitab Ar-Risalah. Kitab ini di tulis di Baghdad selama kunjungan kedua Imam Syafii di kota itu dan kemudian diperbaiki ketika pindah ke Mesir pada tahun 814 M. setelah itu, Ar-Risalah kemudian melambungkan namanya sebagai intelektual muslim yang pertama kali meletakkan azas-azas ilmu Ushul Fiqh.

Dalam kitab inilah, metode pembentukan hukum genius ala Syafi’i terkuak. Ia menggunakan empat dasar dalam mengistaimbathkan suatu hukum yaitu, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan suatu masalah dengan kata ini halal dan ini haram kecuali sudah memiliki pengetahuan tentang hal itu. Pengetahuan tersebut adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas,” tutur Imam Syafi’i dalam kitabnya.

Imam Syafi’i dalam karya yang di diktekan langsung kepada muridnya, Rabi’ bin Sulaiman, mengidentikkan Ijtihad dengan Qiyas. Ia menyimpulkan bahwa ijtihad adalah Qiyas. Dan pada titik lain, ia menolak dengan tegas metode Ihtihsan, sebuah metode pemikiran yang dianggap hanya berdasarkan pemikiran bebas manusia atas dasar kepentingan dan perilaku individual. Kata Syafi’i Istihsan adalah pengambilan hukum yang melulu menuruti kesenangan semata (Hal. 503-507).

IMAM SYAFI’I MEMANG TELAH MENINGGALKAN JEJAK PEMIKIRAN YANG SANGAT LUAR BIASA. BUKTINYA SYARAT-SYARAT IJTIHAD YANG DI RUMUSKANNYA DALAM AR-RISALAH SAMPAI SAAT INI TERUS DIPAKAI PAKAR-PAKAR HUKUM ISLAM. SIAPAPUN YANG INGIN BERIJTIHAD HARUS MELAMPOI SYARAT-SYARAT INI. DIANTARANYA HARUS MENGETAHUI BAHASA ARAB, MATERI HUKUM AL-QUR’AN, BAHASA YANG BERSIFAT UMUM DAN KHUSUS, DAN MENGETAHUI TEORI NASAKH.


Kemudian seorang ahli fikih, menurut Imam Syafi’i, harus bisa menggunakan Sunnah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tegas dan jelas. Ketika ia tidak menemukan dalam Sunnah, ia harus mengetahui adanya konsensus (kesepakatan) yang mungkin menginformasikan kasus-kasus yang ada. Terakhir, jelas Imam Syafi’i, seorang ahli fikih harus dewasa, sehat, dan siap sepenuhnya menggunakan kemampuan intelektualnya untuk menyelesaikan kasus.

Kriteria ini, di kemudian hari, menuai puji dan kritikan. Banyak para pemikir setelah Imam Syafi’i yang menganggap persyaratan ini terlalu keras sehingga banyak orang yang takut memasuki wilayah ijtihad. Hal ini diperparah oleh kemunduran ilmu fikih sekitar abad ke IV H hingga akhir abad ke XIII H. saat itu terkenal dengan periode “Taqlid” dan periode “Tertutupnya pintu ijtihad”. Pengaruh tersebut begitu dahsyat sampai sekarang ini.

Melalui kitab ini, Imam Syafi’i terkenal sebagai pemikir yang moderat. Tidak berpihak kepada salah satu kecendrungan besar sebuah pemikiran, entah itu ahli hadis (para pemikir muslim yang mengutamakan hadis) ataupun ahli Ra’yu (para pemikir muslim yang mengutamakan akal).

Tidak aneh bila para intelektual modern sepakat bahwa Imam Syafi’i sangat berjasa sebagai pendiri ilmu Ushul Fiqh. Ar-Risalah Syafi’i, tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas materi tersebut, sebagai model bagi ahli-ahli fikih dan para teoritisi yang datang kemudian guna mengikutinya.

Pada akhirnya Imam Syafi’i menutup karyanya ini dengan bab Ikhtilaf. Bab ini menunjukkan bahwa Imam Syafii mencintai perbedaan dan menghargai pendapat orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar